By Edi Slamet
Bulan Desember 2013 tepatnya tanggal 13, pengumuman hasil tes PISA (Programme for International Student Assessment) oleh OECD (organisasi kerjasama enokomi negara berkembang), tidaklah mengejutkan dan syok, seperti tahun-tahun sebelumnya negeri yang indah ini selalu 5 besar dari bawah. Bahkan untuk tahun ini kita nomor 2 dari bawah.
PISA adalah tes yang menggabungkan kemampuan siswa dalam urusan matematika & sains dengan kehidupan sehari-hari ditambah penilaian kemampuan membaca. Tes ini sangat membutuhkan kemampuan anak-anak dalam mengoptimalkan daya nalar analisisnya, juga dituntut untuk berfikir lateral, tidak lagi literal. Bahkan, dalam tes ini anak-anak diharuskan dapat memahami konteks soal dalam kehidupan nyata, karena soal-soal yang dibuat selalu melekat dengan kehidupan nyata.
Disini kita tidak sendang membahas soal-soal PISA secara teknis, tetapi lebih menyoroti tata kelola penddidikan kita dalam memenuhi tuntunan modernitas dunia yang semakin cepat melampaui prediksi siapapun di dunia, dan tentunya sangat berpengaruh terhadap hasil tes seperti PISA. Dan sesungguhnya, dalam Ujian Nasional bahkan olympiade kita selalu dalam predikat sangat memuaskan tetapi dalam tes PISA kita kedodoran.
Fakta Pendidikan Kita
Pendidikan atau sekolah “kebanyakan” mengejar target-target kognitif tingkat rendah, anak-anak diminta dan diharuskan mampu matematika dan sains sejak dini, tetapi abai terhadap kemampuan tingkat tinggi (kongnitif tingkat tinggi), anak-anak cenderung menghafal rumus-rumus dan angka-angka tanpa tahu makna sesungguhnya dibaliknya. Anak-anak tercerabut imajinasi dan keluguannya, demi mengejar nilai akademik yang tinggi.
Betapa, kita sebagai guru dan orang tua murid galau, ketika anak-anak akan menghadpai ujian, kita siap dan rela berkorban berjuta-juta untuk drilling agar sukses dalam ujian.
Untuk urusan kognitif yang tingkat tinggi saja kita seringkali abai, apalagi terkait dengan vocational anak-anak. Sudah menjadi rahasia umum, anak-anak adalah ibarat pelangi, begitu indah dilihat, tetapi ketika masuk sekolah anak-anak sudah menjadi satu warna –menjadi bukan pelangi- dan tidak indah lagi, anak-anak disamaratakan hanya diukur dari kemampuan anak dalam menyelesaikan soal-soal ujian.
Kita jarang menemukan anak-anak yang begitu kasmaran dengan keilmuan, karena anak-anak telah “dibunuh” imajinasinya. Anak-anak telah mengalami learning shutdown. Awal mula anak-anak sangat antusias bersekolah, tetapi karena sistem pendidikan yang tidak membrikan ruang “kegilaan” bagi mereka, sirna lah semua.
Seringkali kita tidak senang dan tidak nyaman ketika anak-anak mengambil robekan kertas dekat kita dan kemudian mereka memainkannya, seolah-seolah sedang menjadi teknokrat maupun seorang dalang. Lantas kita menegurnya dan mengatakan “buang dan menjijikan, itu sampah !!”. Seketika itu pula anak-anak berkesimpulan yes itu sampah dan saya harus membuangnya. Berikutnya mereka tidak akan berani lagi berimajinasi lagi tentang kertas robekan yang mungkin sangat berguna bagi dia, sebagai seorang “teknokrat” mupun “dalang”
Begitu pula di kelas, anak-anak telah dibunuh nalar kritisnya, karena berdalih anak banyak ngomong dan bikin gaduh atau lari-lari di dalam kelas. Padahal kegaduhan maupun lari-larinya anak-anak itu seolah-olah mereka sedang ingin menunjukkan pada guru-gurunya, bahwa ini loh saya, dan saya tidak butuh cara mengajar kamu yang ceramah terus, ajak larilah saya maka aku akan menangkap dan mengerti apa yang kamu sampaikan.
Selain itu, anak-anak diberikan tugas menghafal rumus-rumus dan tata cara aritmatika maupun algoritma, padahal tidak tahu buat apa hitungan-hitungan yang bikin stres ini. Alih-alih anak dapat paham terhadap pelajaran yang ada justru menjadi semakin benci dan benci, inilah yang disebut learning shutdown.
Adakah Harapan Baru?
Pasti ada, itu jawabanya. Rumah dan sekolah harus menjadi tempat yang nyaman bagi anak-anak kita. Lantas, bagaimana caranya ?
Rumah seyognya menjadi pijakan utama dalam tumbuh kembang anak, orang tua dan keluarga menjadi partner yang hangat bagi anak-anak. Untuk menjadi hangat, luangkan waktu buat anak-anak kita, tinggalkan sejenak gadget dan pekerjaan kita. Membaca buku bersama-sama juga menjadi solusi yang baik untuk anak-anak kita.
Kadang-kadang, perlu juga kita sebagai orang tua memberikan keluasaan kepada anak-anak kita untuk bereksplorasi di rumah, bahkan juga kadang membuat rumah kita berantakan, cukup kita memberi pengertian setelah selesai, mereka harus bertanggung jawab untuk merapikan kembali.
Mengajak anak-anak ke tempat yang menurut kita sering menjadi masalah – pasar tradisional, tempat kumuh, alam terbuka dll- itu juga dapat membantu anak-anak kita lebih peka dan memiliki sensitifitas terhadap persoalan, yang akhirnya dapat memberikan alternatif solusi yang tidak pernah kita duga.
Untuk sekolah, tentu ini sama-sama tidak lebih ringan daripada tugas di rumah. Ini sangat erat kaitanya dengan tata kelola pengajaran di sekolah, yaitu bagimana sikap guru dalam pembelajaran di kelas. Guru tidak bisa lagi hanya berfokus pada capaian-capain konginitif tingkat rendah alias menghafal dan memahami sebuah soal-soal dalam mata pelajaran.
Guru-guru harus menjadi jembatan –bukan lagi pengajar- bagi anak-anak. Guru dapat memberikan ruang yang terbuka bagi anak-anak untuk selalu kritis terhadap pelajaran. Dalam pendekatan Mindy Kornhaber (2004) dalam setiap pembelajaran haruslah menyentuh ceruk kecerdasan majemuknya. Menjadi penting ketika guru mengajar haruslah menggunakan multi pendekatan. Anak-anak harus dibawa kedalam dunia yang nyata, bukan hanya dunia yang diluar nalar mereka.
Dalam teknik pembuatan soal pun guru harus mawas diri apakah pertanyaan-pertanyaan yang telah dibuat sudah mencakup cara berfikir tingkat yang lebih tinggi. Guru seharusnya sudah mengurangi pertanyaan-pertanyaan model-model sebutkan, benar atau salah, urutkan dan seterusnya, tetapi sudah harus menjelajah lebih jauh yaitu dengan pertanyaan-pertanyaan yang berisi ; membandingkan, memprediksi, sebab akibat, bagaimana menyelesaikanya dan seterusnya.
Tentunya, guru-guru dalam memberikan soal mapun pengajaran dalam kelas, harus tetap berpijak pada konsep yang menyenangkan, tanpa tekanan, sehingga imajinasi, kepolosan dan keingin tahuan anak-anak tertap terjaga.
Kita yakin ketika semua terpenuhi, soal-soal PISA yang diberikan itu akan terlahap dengan mudah, di rumah maupun di sekolah anak-anak sudah terbiasa kritis, dan imajinatif tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang disepakati bersama, dan akhirnya pasti kita tidak lagi menjadi urutan buncit. Wallahu a’lam. @edislatem12
2014-2024 © oDars.